Kehidupan rumah tangga tak selamanya berjalan mulus dan bahagia. Perceraian bisa saja terjadi lebih awal, di tengah, bahkan di usia pernikahan lama yang tak disangka-sangka.

Konsultan pernikahan di North Carolina, Amerika Serikat, sekaligus penulis buku Blueprint for a Lasting Marriage, Lesli MW Doares mengatakan perceraian tidak terjadi dalam semalam, namun bertahap menggerogoti pondasi pernikahan. Faktor pemicunya bisa saja muncul jauh sebelum perpisahan itu terjadi.

Celetukan ringan istri kepada suami, misalnya, “Kamu lupa membantuku mencuci piring semalam,” eskalasinya bisa meningkat menjadi kritik, “Kamu tak pernah mau membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah.”

Kalimat ini kemudian berkembang menjadi penilaian kepribadian, “Kamu egois dan pemalas.” Label egois dan pemalas sangat menyakitkan bagi suami, apalagi ucapan itu berasal dari istrinya. Romantisme pasangan pun bisa hilang.

Pada 2015, sebanyak 353.843 perkara perceraian diputus inkracht di Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Angka tersebut naik menjadi 365.654 perkara pada 2016, kemudian 374.516 perkara pada 2017.

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mendata setidaknya ada 14 penyebab perceraian. Secara berurutan berdasarkan jumlah penemuan kasus 2017, lima faktor penyebab perceraian terbanyak adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus (152.575 perkara), ekonomi (105.266 perkara), meninggalkan salah satu pihak (70.958 perkara), kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT (8.453 perkara), dan dihukum penjara (4.898 perkara).

Berikutnya adalah mabuk (4.246 perkara), judi (2.179 perkara), kawin paksa (1.976 perkara), zina (1.896 perkara), poligami (1.697 perkara), madat (1.189 perkara), murtad (600 perkara), cacat badan (432 perkara), dan sisanya adalah perkara lainnya.

akibat perceraian

Sumber gambar: tirto.id

Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus

Mediator nonhakim di Pengadilan Agama Denpasar, Bali, Ahmad Baraas mengatakan cekcok dan pertengkaran terus menerus merupakan alasan klasik agar gugatan cerai mudah dikabulkan majelis hakim. Sejatinya tak seorang pun dari kliennya yang menginginkan perceraian.

Perceraian adalah tanda nyata runtuhnya sebuah rumah tangga. Tak seorang pun mau gagal dalam berkeluarga. Hanya saja, kata Baraas tak banyak yang mampu dan tahu cara menghindarinya.

Bimbingan menggapai keluarga sakinah dapat dilakukan dengan mendalami ilmu agama. Agama adalah pondasi utama berumah tangga.

Setiap rumah tangga memiliki daya tahan berbeda dalam menghadapi cobaan dan guncangan. Cara suami istri menghadapi dan menyelesaikan masalah sangat dipengaruhi latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan keduanya.

Dari sekian banyak latar belakang tersebut, Baraas menilai ketaatan pada agama dan kadar keimanan paling menentukan. Orang beriman biasanya memiliki rasa malu, termasuk malu pada tetangga dan handai tolan jika rumah tangganya terlihat bermasalah.

Ekonomi

Perbedaan manajemen finansial atau cara pandang suami dan istri melihat uang faktor signifikan lain yang memicu keretakan rumah tangga. Jika terus dibiarkan, masalah keuangan bisa menghancurkan pernikahan. Tak peduli berapa lama pasangan sudah saling kenal, menikah, yang namanya hubungan dengan uang sifatnya harus transparan.

Contoh-contoh kasus masalah ekonomi yang memicu perceraian bisa dimulai dari hal-hal sederhana. Suami sering menuduh istri terlalu banyak membelanjakan uang, atau gagal membuat anggaran bulanan yang benar.

Pasangan suami istri memiliki mobil mahal, namun tidak memiliki rumah. Istri berulang kali menyampaikan kekhawatirannya tentang kebiasaan suami menghabiskan gajinya setiap bulan, terlebih suami yang tidak menyerahkan manajemen keuangan sepenuhnya kepada istri.

Uang menjadi masalah umum dalam badai pernikahan. Suami kerap dianggap gagal memenuhi tanggung jawab memberi nafkah untuk anak istri. Jika salah satu merasa pasangannya tak menarik lagi secara finansial, kebencian cepat tumbuh di hati masing-masing. Istri kemudian dihadapkan pada pilihan, bertahan atau menggugat cerai.

Saatnya berdiskusi dengan pasangan terkait dengan manajemen finansial rumah tangga. Identifikasi dua atau tiga masalah terkait ini, buat solusi masing-masingnya, dan tetapkan batas waktu penyelesaian masalah. Lebih spesifik, lebih baik.

Jangan segan untuk bertanya kepada orang-orang di lingkaran pertemanan tentang bagaimana mereka menangani masalah serupa. Belajar dari pengalaman orang lain bisa diterapkan untuk diri sendiri sejauh tujuannya untuk memperbaiki diri ke arah positif.

KDRT

Secara tegas, KDRT, diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Penghapusan KDRT yang menyatakan bahwa, “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a) kekerasan fisik; b) kekerasan psikis; c) kekerasan seksual, atau; d) penelantaran rumah tangga.”

Kekerasan fisik contohnya memukul, menendang, melukai, hingga membunuh. Kekerasan psikis, misalnya perselingkuhan, serta kekerasan ekonomi berujung penelantaran rumah tangga. Kekerasan seksual mulai dari pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Keempat bentuk kekerasan ini bisa diproses hukum.

KDRT bisa juga berbentuk lain, misalnya kekerasan verbal mulai dari menghina dan membentak. Ada juga kekerasan sosial, seperti larangan bertemu orang tua, saudara, dan bergaul dengan tetangga. Hal paling parah adalah kekerasan spiritual, seperti larangan menjalankan ritual agama sesuai keyakinan yang dianut.

KDRT hanya berlaku pada perkawinan yang diakui negara, yaitu ada buku nikah. Ini pula yang menyebabkan KDRT lebih banyak tidak terdeteksi.

Saat ini marak istri terdampak KDRT oleh suami. Terlepas dari siapa salah dan siapa benar, Rasulullah SAW mencontohkan bahwa menahan diri dan sabar kepada istri lebih baik daripada memukul. Ini menunjukkan Islam sangat memuliakan perempuan.

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya, dan orang-orang terbaik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap isteri mereka.” (HR at-Tirmidzi).

Islam mengajarkan tujuan berumah tangga adalah menjalin kasih sayang dan terpenuhinya ketentraman (sakinah).

Meninggalkan Salah Satu Pihak

Suami istri berpisah dalam waktu lama sudah lazim terjadi sejak dulu. Dalam kondisi kekinian, contohnya suami menyambung kuliah ke luar negeri, merantau untuk bekerja, atau seperti yang dialami prajurit-prajurit TNI yang berangkat ke perbatasan untuk tugas negara.

Oleh karenanya, suami istri yang berpisah lama tidak otomatis bercerai atau jatuh talaknya. Apalagi, talak termasuk akad lazim yang sah apabila dijatuhkan pihak suami. Artinya, selama suami tidak mengucap talak, cerai, dan istilah sejenisnya, maka tidak akan ada talak.

Meski demikian, istri yang ditinggal suami dalam waktu lama, kemudian keberatan menjalankan kondisi tersebut, maka dia berhak menggugat cerai suami ke Pengadilan Agama. Dalam pasal 19 Undang-Undang Perkawinan disebutkan yang dimaksud meninggalkan salah satu pihak terhitung dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain, dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

Dihukum Penjara

Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia, perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Studi yang dilakukan peneliti dari Florida State University dan Penn State University, Amerika Serikat membuktikan peluang perceraian meningkat hingga 32 persen ketika salah satu pasangan menikah dihukum penjara.

Penelitian secara konsisten menunjukkan penahanan salah satu pasangan berkorelasi dengan tingkat perceraian lebih tinggi. Bahkan, setelah narapidana bebas dari penjara, pernikahan yang masih bertahan tetap berisiko bercerai.

Salah satu studi di Belanda menunjukkan semakin lama seseorang dipenjara, semakin besar kemungkinan rumah tangganya gagal. Sebagian pasangan awalnya optimistis pernikahan mereka akan baik-baik saja begitu pasangan keluar penjara. Faktanya, rata-rata 10 tahun selepas bebas, risiko perceraian pasangan tetap tinggi.

Peneliti merekomendasikan pengelola penjara atau lembaga pemasyarakatan dapat menggunakan jasa konsultan pernikahan selama dan setelah penahanan bagi pasangan yang salah satu pihak dipenjara. Ini untuk membantu menjaga pasangan suami istri tetap dekat dan memberi resolusi konflik tanpa kekerasan.

Penyebab Lainnya

Zina, mabuk, madat, dan judi meski tidak masuk ke dalam lima penyebab utama perceraian di Indonesia, namun keempatnya populer memicu keretakan rumah tangga. Zina misalnya, dalam kondisi kekinian berkembang istilah pelakor (perebut laki orang) dan pebinor (perebut bini orang). Ini bisa dipicu karena salah satu pihak berselingkuh.

Suami atau istri bisa saja berhubungan dengan wanita atau pria lain. Namun, salah satu pihak harus bisa membuktikan perselingkuhan tersebut sampai ke tahap zina, sebagai syarat sah perceraian. Ini karena selingkuh belum tentu berzina. Laki-laki atau perempuan yang sudah menikah dan diketahui berzina, maka diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan, berdasarkan Pasal 284 ayat (1) KUHP.

Konflik rumah tangga, apapun bentuknya, jika sudah dibawa ke pengadilan umumnya masalahnya sudah akut. Upaya perdamaian oleh hakim mediasi, meskipun diadakan, biasanya kata rujuk atau damai sulit dicapai.

Sebaik-baik cara menyelesaikan konflik rumah tangga adalah introspeksi diri. Ini memang pekerjaan berat, namun hasilnya lebih bagus karena tanpa campur tangan orang lain. Setiap suami dan istri harus menjadi pemecah masalah (problem solver) atau dokter bagi rumah tangganya.