Perempuan abad lalu masih takut akan stigma sosial perceraian. Mereka juga bergantung sepenuhnya secara finansial kepada pasangan. Masuk abad ke-21, perempuan hari ini semakin cerdas, mandiri secara finansial, dan stigma perceraian tak begitu menjadi beban.
Orang-orang sekarang tak lagi melihat perceraian sesuatu yang aneh. Perceraian bahkan disamakan dengan kegagalan kehidupan lainnya, sehingga bukan satu hal yang memalukan dan harus dijauhi.
Masyarakat sekarang lebih terbuka bahwa tidak semua pernikahan berakhir bahagia. Pada tingkat tertentu, masyarakat dapat memaklumi dan menganggap lazim perceraian sebagai langkah terakhir yang dipilih untuk mengakhiri konflik antara suami dan istri.
Pengadilan Agama saat ini menyelesaikan setidaknya 40 sengketa perceraian per jam. Sebanyak 70 persen dari keseluruhan perkara merupakan gugat cerai dari pihak istri.
Sosiolog Stanford University, Michael Rosenfield melakukan penelitian selama lima tahun (2009-2015) terhadap 2.000 pasangan menikah di Amerika. Hasilnya, 69 persen perempuan menggugat cerai terlebih dahulu.
Secara terpisah, sekelompok peneliti Michigan University menjalankan proyek jangka panjang bernama The Early Years of Marriage (EYMS). Penelitian dimulai 1986 hingga 16 tahun kemudian. Partisipannya adalah pasangan menikah di Detroit. Hasilnya, 40 persen pasangan yang menjalani studi ini bercerai.
Merujuk pada fakta-fakta di atas, apa saja alasan yang melatarbelakangi perempuan zaman sekarang lebih banyak menggugat cerai pasangan?
Pertengkaran dan Konflik Berkepanjangan
Pengadilan Agama Kelas IA Kota Semarang memproses setidaknya 2.570 perkara perceraian di meja sidang sepanjang Januari-September 2019.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 68 persen atau 1.773 perkara merupakan gugatan cerai dari pihak perempuan, sementara sisanya 572 perkara diajukan pihak laki-laki. Perempuan yang menggugat cerai kebanyakan beralasan cekcok berkepanjangan, lebih dari 200 kasus.
Perselisihan dan pertengkaran terus menerus membuat cekcok dalam rumah tangga seakan tak berujung. Selain karena merasa tak sejalan, perempuan merasa dirinya dikekang dan dikendalikan setelah menikah. Ini membuat perempuan kehilangan kebebasan dan akhirnya tidak bahagia.
Istri merasa kehidupan rumah tangga mereka tak lagi selaras. Perempuan yang menjadi istri merangkap pekerja merasa tanggung jawabnya dua kali lipat.
Di rumah, urusan domestik sepenuhnya menjadi tanggung jawab istri, mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, berbelanja ke pasar, dan mengurus anak.
Di luar, istri ikut bekerja menghasilkan uang demi menambah penghasilan untuk kehidupan rumah tangga, seperti membantu membayar cicilan rumah atau kredit mobil.
Pasangan bahagia adalah pasangan yang saling bahu membahu mengerjakan pekerjaan sehari-hari, termasuk urusan rumah tangga dan anak.
Pasangan bahagia biasanya sudah membicarakan perihal pekerjaan rumah tangga dan anak sejak awal pernikahan.
Mengajari anak di rumah misalnya, tak semata tanggung jawa istri, namun juga suami. Ini sama halnya dengan membersihkan rumah, memasak, dan sebagainya.
Suami dan istri yang bisa berbagi pekerjaan otomatis terhindar dari pertengkaran-pertengkaran kecil.
Pertengkaran kecil jika terus dibiarkan mengitari kehidupan rumah tangga akan terakumulasi dan meledak menjadi pertengkaran besar. Jika terjadi berkali-kali, salah satu pihak biasanya memilih memisahkan diri, misalnya meninggalkan rumah, dan akhirnya berujung putusan cerai di pengadilan.
Tingkat perceraian biasanya memuncak di tahun ketiga pernikahan. Ini bisa menjadi indikasi pentingnya suami istri meluangkan waktu untuk mengenal satu sama lain dan membahas hal-hal bersama.
Istri Ditelantarkan Secara Ekonomi
Pengadilan Agama Kota Singaraja, Bali menerima 92 perkara perceraian sepanjang Januari-Agustus 2019. Sebanyak 65 persen atau 60 perkara di antaranya berupa cerai gugat yang diajukan pihak istri. Faktor penyebab terbanyak adalah masalah ekonomi dan suami dianggap kurang bertanggung jawab.
Perempuan zaman now, khususnya generasi milenial cenderung memiliki karier sendiri. Meski tinggal bersama orang tua, mereka berpendidikan, sebagian besar sarjana.
Perempuan zaman sekarang juga memiliki segudang keterampilan yang berpotensi ekonomi. Jika mereka merasa tak puas dengan kehidupan pernikahan, mereka tak takut untuk menggugat cerai.
Banyak istri yang penghasilannya lebih besar dari suami. Meski demikian, seberapa besar gaji istri, seberapa tinggi jabatan, hendaknya tak boleh sombong terhadap suami.
Suami memang bertanggung jawab menafkahi keluarga, sebagaimana firman Allah SWT, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS an-Nisa 34).
Namun demikian, zaman sekarang banyak istri ikut mengambil peran menafkahi keluarga.
Istri yang memiliki kelebihan harta, entah itu dari warisan atau pekerjaan bisa membantu suami dan ekonomi keluarga. Istri seperti ini hendaknya semakin dermawan menolong suami yang mungkin sewaktu-waktu sedang dalam kesempitan.
Istri yang ikhlas membantu suami secara tak langsung mendapat dua keutamaan dalam Islam, yaitu keutamaan menjalin silaturahim dan keutamaan berinfak di jalan Allah SWT.
Sayang tidak semua istri demikian. Perempuan yang merasa sudah terlalu lama ditelantarkan secara ekonomi oleh pasangan memilih memutuskan hubungan pernikahan karena itu merupakan pilihan terbaik untuknya.
Istri Ditelantarkan Secara Fisik dan Psikologis
Banyak faktor mewarnai konflik rumah tangga, mulai dari masalah ekonomi, anak, pekerjaan yang berpotensi menyebabkan perceraian selama tidak diselesaikan baik-baik oleh suami istri.
Perceraian adalah momen menyakitkan bagi semua pihak yang terlibat, yaitu suami, istri, anak-anak, serta keluarga besar kedua belah pihak.
Istri terkadang mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama karena merasa ditelantarkan secara fisik dan psikologis oleh suami. Ini bisa didorong ketidakmampuan suami berkomunikasi dengan baik, suami kurang memenuhi kebutuhan lahir dan batin istri karena terlalu sibuk bekerja atau mempunyai wanita idaman lain.
Ada juga faktor keengganan suami menalak cerai istrinya lebih dahulu.
Istri yang merasa ditelantarkan menanggung beban fisik dan psikologis dalam kehidupan sosialnya, apalagi ditelantarkan dalam waktu lama biasanya akan mengajukan cerai terlebih dahulu.
Istri Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Istri menggugat cerai suami karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan fisik yang diterima istri, contohnya dipukul, ditendang, dilukai, hingga hampir dibunuh suami sendiri.
Istri juga mengalami kekerasan psikis, misalnya perselingkuhan, dan kekerasan ekonomi berujung penelantaran rumah tangga. Ada juga kekerasan seksual, mulai dari pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Semua bentuk kekerasan ini bisa diproses hukum.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mendata setidaknya ada 14 penyebab perceraian. KDRT masuk ke dalam lima penyebab teratas perceraian di Indonesia, selain perselisihan dan pertengkaran terus menerus, ekonomi, meninggalkan salah satu pihak, dan salah satu pihak dihukum penjara.
Kurangnya Pemahaman Ilmu Agama
Pernikahan zaman dahulu dianggap sakral karena tujuannya ibadah. Orang-orang takut bercerai karena cerai itu dosa, cerai itu aib.
Pasangan zaman sekarang terkesan kurang memahami ilmu agama. Pernikahan diserupakan dengan akad atau kontrak. Ketika salah satu pihak, apakah itu suami atau istri tidak lagi sesuai harapan, maka akad dan kontrak bisa dibatalkan.
Keluarga dalam konsep Al-quran hidup dalam panduan syariat Islam. Suami istri yang baik adalah yang bertakwa kepada Allah, menjadi hamba yang melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya. Hal terpenting adalah saling memahami dan menerima kelebihan serta kekurangan masing-masing.
Islam memang membolehkan perceraian, namun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian bagaimana pun adalah satu hal yang bertentangan dengan asas hukum agama mana pun.