Di tengah hiruk pikuknya beragam persoalan bangsa, mulai dari masalah politik, ekonomi, kebakaran hutan, ketidakpuasan pada pemimpin, kerusuhan dan sebagainya ada satu persoalan yang mungkin jarang dibahas. Persoalan ini sering kita abaikan, bahkan mungkin dianggap tidak penting. Namun boleh jadi semua persoalan bangsa kita berakar dari 1 hal ini, yaitu pernikahan.
Jika diibaratkan bangsa ini sebuah bangunan tentu ada batu bata penyusunnya. Nah, batu bata yang menyusunnya tersebut adalah keluarga. Jika suatu bangunan batu bata penyusunnya rapuh tentu akan rapuh juga bangunannya.
Begitu juga dengan bangsa, jika keluarga-keluarga yang menjadi penyusunnya rapuh tentu akan rapuh juga bangsa tersebut. Keluarga berawal dari pernikahan, pernikahan yang baik akan melahirkan keluarga yang baik. Lalu bagaimana dengan realita pernikahan di negeri kita ini ?
Kasus perceraian di Indonesia semakin tinggi, bahkan masuk tahap mengkhawatirkan. Perceraian yang dulunya dianggap tabu, sekarang seakan menjadi tren gaya hidup.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) akhir 2013 bahkan mencatat tingkat perceraian di Indonesia tertinggi se-Asia Pasifik. Hampir 80 persen perceraian terjadi saat usia pernikahan masih di bawah lima tahun.
Perceraian di bawah lima tahun terbilang rentan dan serius. Pasalnya pasangan yang memutuskan berpisah dalam rentang masa ini biasanya sudah memiliki anak, umumnya balita yang membutuhkan perhatian kedua orang tuanya.
Sebut saja perceraian artis pada usia muda yang menjadi headline berbagai media sepanjang tahun lalu. Publik mungkin masih ingat perpisahan salah satu pasangan artis di akhir November 2018.
Putri kecil pasangan artis tersebut langsung menjadi pusat perhatian, mengingat rumah tangga orang tuanya yang selama ini tampak mesra ternyata retak dari dalam.
Akhir Februari 2018, juga muncul kabar perceraian lagi dari kalangan pasangan artis. Perpisahan yang penuh drama mengingat keduanya baru menikah lima bulan dan sempat ‘perang’ di media sosial.
Bukankah hal seperti ini sebenarnya bisa dicegah dengan memperkuat ilmu dan pengetahuan tentang pernikahan? yang kemudian bisa jadi bekal untuk membangun rumah tangga. Sehingga bisa lebih siap menghadapi segala macam cobaan dalam rumah tangga.
Ada kasus yang lebih menghebohkan lagi terkait perceraian di kalangan artis. Sampai ada kabar diwarnai kasus KDRT dalam rumah tangga mereka. Sungguh miris sekali.
Di sisi lain kehidupan mereka menjadi sorotan media, juga menjadi publik figur bagi masyarakat. Ketika warna-warna perceraian itu mereka pertontonkan, bagaimana dengan nilai sakral pernikahan yang selama ini dijaga?
Nilai-nilai sakral pernikahan zaman sekarang seolah tak lagi menjadi tolak ukur pasangan suami istri dalam mempertahankan rumah tangga. Setahun menikah, mereka bercerai. Lima tahun berumah tangga, mereka berpisah dengan mayoritas alasan klasik, ketidakcocokan.
Suami istri yang sudah bersama lebih dari delapan tahun pun tak lepas dari badai perceraian. Parahnya, ada pasangan yang sudah merencanakan perceraian sebelum mereka terikat pernikahan. Ikatan suci dianggap cara legal mendapatkan kesenangan.
Sumber gambar: pixabay.com
Perceraian dalam Angka
Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama mencatat tingkat perceraian di Indonesia naik 100 persen medio 2006-2016. Pada 2006, angka perceraian berkisar delapan persen. Satu dekade kemudian persentasenya menjadi 16 persen dari keseluruhan peristiwa nikah.
Pengadilan Agama saat ini menyelesaikan setidaknya 40 sengketa perceraian per jam. Sebanyak 70 persen dari keseluruhan perceraian merupakan gugat cerai. Ini berarti kasusnya didominasi permintaan cerai dari perempuan alias pihak istri.
Kementerian Agama sampai saat ini belum merilis resmi total kasus perceraian di Indonesia untuk 2018 dan 2019. Namun, laman resmi Mahkamah Agung (MA) mencatat 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Sebanyak 307.778 kasus atau 73,4 persen dari total keseluruhan perceraian terjadi karena inisiatif pihak perempuan, sementara sisanya 111.490 kasus gugatan diajukan pihak laki-laki.
Jumlah di atas baru perceraian dari pernikahan pasangan Muslim. Ini berarti angka tersebut belum termasuk perceraian dari pasangan nonMuslim yang berlangsung di Pengadilan Umum.
Konsultan Pernikahan dan Keluarga sekaligus penulis buku serial Wonderful Family, Cahyadi Takariawan dalam kolom resminya di Kompasiana menggarisbawahi belum ada perbaikan ketahanan keluarga di Indonesia. Angka tersebut tak kunjung turun tahun-tahun berikutnya hingga hari ini.
Pada 2015, sebanyak 353.843 perkara perceraian diputus inkracht di Pengadilan Agama. Angka tersebut naik menjadi 365.654 perkara pada 2016, kemudian 374.516 perkara pada 2017. Tiga kota dengan putusan perkara cerai talak dan cerai gugat terbanyak adalah Surabaya, Bandung, dan Semarang, sementara terendah Ambon dan Kupang.
Pentingkah Belajar Pernikahan ?
Banyak calon pengantin yang kurang pengetahuan, pemahaman, dan persiapan saat mengarungi biduk rumah tangga. Peran konsultan pernikahan dalam memberikan konsultasi, sangat diperlukan dalam hal ini.
Selain itu dibutuhkan juga kesadaran setiap anak muda yang akan menikah atau bahkan sudah menikah akan pentingnya mempersiapkan bekal ilmu pernikahan.
Realita di masyarakat memandang bahwa uang adalah segalanya, uang adalah modal utama dalam pernikahan sehingga melupakan bahwa bekal ilmu juga diperlukan.
Pernikahan akan utuh selama pasangan suami istri mengerti peran dan tanggung jawabnya. Rumah tangga akan berjalan dengan baik ketika suami dan istri memiliki pola komunikasi, memiliki strategi menghadapi konflik yang tepat serta yang tak kalah penting juga memiliki visi dan misi yang jelas serta terarah.
Sebab ketika sebuah keluarga memiliki visi misi yang jelas akan punya daya tahan dalam menghadapi setiap badai dalam pernikahan.
Jadi hal penting yang perlu dilakukan oleh setiap anak muda yang akan menikah adalah mempersiapkan bekal ilmu menuju pernikahan, yang sudah menikah pun tidak ada kata terlambat untuk belajar.
Pembelajaran bisa dilakukan dengan mengikuti workshop atau seminar pernikahan, ikut kelas online pernikahan, atau jika membutuhkan pendampingan khusus bisa melibatkan konsultan pernikahan.
Seseorang tak mungkin diizinkan mengendarai mobil sendiri tanpa mengantongi Surat Izin Mengemudi (SIM). Cara mendapatkan SIM itu melalui sejumlah tahapan uji coba yang tentunya membutuhkan keterampilan calon pengemudi.
Demikian juga pernikahan, tak akan bisa diarungi tanpa dibekali ilmu cukup. Ilmu yang dimaksud adalah kemampuan komunikasi, resolusi, dan pengaturan emosi.
Komunikasi salah satu pondasi dasar ilmu berumah tangga. Laki-laki sebagai calon imam hendaknya memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan istri.
Tak jarang istri mengeluh perilaku suami yang kurang simpatik terhadapnya, sementara si suami bisa ramah dan interaktif saat bersama, bercanda, bergurau dengan kawan-kawannya. Suami istri harus sering membuka ruang diskusi satu sama lain setelah berumah tangga.
Suami istri perlu mengetahui hak dan kewajiban masing-masing supaya tak ada yang dirugikan atau terzalimi. Jika pihak suami atau pihak istri hanya fokus pada hak semata dan melupakan kewajiban, ini awal permasalahan rusaknya keharmonisan rumah tangga.
Saat itu terjadi, kemampuan pasangan meresolusi konflik dibutuhkan. Jika istri sedikit mengalah menuntut haknya demi memelihara kepentingan bersama, biasanya suami akan berbuat hal sama.
Jika suami sedikit menurunkan tuntutan haknya terhadap istri, istri pun akan berbuat hal serupa. Sikap moderat dan tidak egois akan membuahkan kebahagiaan keluarga
Laki-laki tak boleh lupa bahwa perempuan adalah makhluk Tuhan yang gerak-geriknya didominasi perasaan dan emosi. Seorang suami memerlukan kemampuan pengaturan emosi setingkat lebih tinggi dari istri.
Emosi istri tidak boleh dibalas dengan emosi suami. Bukankah Rasulullah telah mengajarkan perlunya keramahan dan cinta dalam jiwa suami unuk menciptakan kedekatan perasaan dengan istri?
Rasulullah adalah suami yang paling humoris terhadap istrinya. Laki-laki yang tidak paham menyikapi emosi tak ubahnya seperti orang dungu dan pandir. Suami istri yang bisa menentramkan emosi akan memantulkan cahaya positif pada rumah tangga dan keluarganya.